Cerpen : "Pulang" karya Arief Utara



Dimuat dalam Antologi Cerpen "Tuan Bahaya" Penerbit FAM, Dafi Khadafi, dkk.

Cerpen ini masuk 10 besar nominator, termaktub bersama 40 karya peserta lomba yang dibukukan di Sayembara Cipta Cerpen Tingkat Nasional yang diadakan FAM Publishing September, 2013.
Katakan pada Ngadiyem, “Pagi ini jangan buatkan aku bubur.”
Kalau diingat-ingat pertemananku dengan Harjono jadi renggang gara-gara bubur. Malam itu entah kenapa, Harjono tiba-tiba nyalang, menghempaskan parangnya hampir mengenai kepalaku. Aku gelagapan, terjatuh di kolong meja, seketika kuambil garpu dan kutusukkan begitu saja entah ke mana. Namun sekejap pengap, dada Harjono membuncak tak karuan. Darah merembes bercampur tanah mengalir, menelusup celah-celah tembok bambu. Aku merinding, darah dan  kesakitan itu, membuatku minggat. Sejauh-jauhnya minggat.

Aku tahu, diam-diam Harjono juga menaruh rasa pada Ngadiyem. Namun sepertinya hati Ngadiyem lebih tercurah kepadaku. Setiap pagi, tiap kali aku selesai membersihkan surau, semangkuk bubur hangat telah siap di pelataran, lengkap dengan secangkir teh hangat. Padahal aku tak pernah memintanya membuatkan bubur. Maka di setiap kesempatan seperti itu, cukuplah baginya untuk sekadar bercakap kecil denganku, menyapa atau saling senyum. Kami tidak pernah berbincang lama-lama, bahkan berduaan. Ayah Ngadiyem adalah Abah Kaum di kampung ini, tetua adat yang punya tata aturan tentang hubungan laki-laki dan perempuan. Dan aku tentu tak mau membuat masalah.
         “Mas Prapto, kapan menikah
? Sudah ada calon?” tanyanya tiba-tiba. Aku kaget tak di buat-buat. Pertanyaan seperti ini cukup sensitif bagiku.
 “Belum punya calon, orang miskin begini, boro-boro calon, nanti kalau punya anak, anaknya dikasih makan apa? Hehehe.”  Kujawab dengan asal-asalan. Aku mulai salah tingkah.
“Ya rezeki sudah diatur yang Maha Kuasa kan, Mas. Kalau saya sih bukan melihat kekayaan juga, yang penting lakinya kerja keras dan tanggung jawab. Nanti rezeki pasti ada dari mana saja, jawabnya agak panjang lebar, tak seperti biasanya.
            “Memangnya kenapa, Dik. Kok tanya begitu?” tanyaku agak bagaimana.
            “Ya ndak kenapa-kenapa sih, Mas. Oh, saya pamit dulu, Mas. Buburnya dimakan dulu, keburu dingin."
Selama ini Ngadiyem memang benar-benar menungguku. Menunggu harapan yang tak kunjung tercurah. Sebagai lelaki, aku cukup mengerti sikap Ngadiyem akhir-akhir ini. Termasuk ibu dan bapaknya yang selalu ramah saat aku bertandang meminjam beberapa buku Iqro’. Termasuk sinyal-sinyal itu, bubur, teh hangat, dan semuanya itu. Tetapi tidak termasuk keberanianku. Aku benar-benar tak siap.
Ngadiyem memang berwajah biasa-biasa saja, tidak cantik tapi juga tidak jelek. Standar wanita kampung pada umumnya, hanya saja hatinya bersahaja, terutama pada anak-anak. Siapa sih, lelaki bujang di kampung ini  yang tak tertarik padanya. Calon istri yang sayang pada anak-anaknya, bakal istri yang setia kepada suaminya. Aku pun begitu, tertarik pada kedewasaannya, mengagumi ketaatannya pada agama.
Lama-lama Ngadiyem menjadi semakin berani, termasuk bertanya-tanya tentang hal yang sensitif. Atau aku-nya saja yang masih setia dengan kepura-puraan. Pura-pura tidak sensitif. Yang jelas, saat ini aku memang belum jadi apa-apa. Namun setidaknya, ketika teman-temanku asyik dengan nomor totor dan perempuan, aku masih setia menghidupkan surau. Kata mendiang bapakku “fastabiqul khoirot”, berlomba-lomba dalam kebaikan, karena hidup cuma mampir ngombe[1]
Biasanya setiap pagi Harjono selalu lewat depan surau dan menyapaku. Kami berteman baik sejak kecil, dia punya sawah yang cukup luas. Setiap pagi meladang, menghabiskan seperempat harinya untuk mengurus sawah. Hari ini tak seperti biasanya, pagi itu dia lewat begitu saja, seolah tak melihatku. Sepertinya Harjono memang sengaja membuang muka, menyimpan sesuatu. Sejak saat itu di setiap paginya, Harjono tak pernah lagi menyapaku, ketika aku menyapanya dia pura-pura tak mendengar.
Sikap Harjono terhadapku kini benar-benar berubah, dan penyebabnya adalah kedekatanku dengan Ngadiyem. Sebenarnya aku juga tidak pernah berusaha mendekati Ngadiyem, semua berjalan begitu saja. Tidak pernah terlintas sebelumnya bahwa jadinya akan rumit begini. 
***
Setahun sudah aku minggat, kejadian itu benar-benar membuatku ketakutan. Aku  melarikan diri ke kota, berharap tak ada sanak keluarga yang tahu keberadaanku, kecuali Sarjo. Dialah yang memberitahuku keadaan di kampung, termasuk keadaan Harjono. Lewat telepon dia memberitahuku, kalau keluargaku di kampung dalam keadaan baik-baik saja. Malam itu aku memberanikan diri menelepon Sarjo. Aku rindu rumah.
“Harjono sudah sembuh, sudah macul[2] lagi,” katanya melegakanku, kukira Harjono  tak mungkin diselamatkan lagi waktu itu.
“Kalau Ngadiyem?” tanyaku penasaran.
“Dia mencari-carimu, kapan kau pulang?”
Aku tak menjawab pertanyaan Sarjo. Pikiranku masih sengkarut.
“Ngadiyem akan pergi ke Arab Saudi, jadi TKW. Abah Atmo sudah meninggal tiga bulan yang lalu. Keluarganya kini sedang krisis, dia mencarimu, untuk menemaninya ke Arab Saudi,” imbuhnya meyakinkanku. Pikiranku semakin sengkarut seperti benang kusut yang tak temu urainya. Kalau aku pulang, aku khawatir bagaimana nanti orang kampung menganggapku, lantas bagaimana jika aku nanti bertemu Harjono, wajahnya yang nyalang, tatap mata nanap penuh kebencian. Sudah pasti aku di habisinya, tak ada ampun.
Adzan maghrib melesakkan gaungnya di langit sore, menampung kalimat-kalimat Ilah. Matahari telah habis di penghujung harinya. Aku mulai jengah dengan pelarian.
“Bukankah seharusnya aku tidak seperti ini. Lari dari ketakutan-ketakutan yang seharusnya bukan untukku. Khawatir dengan keadaan yang semestinya dialami Harjono? Ya, ketakutan semua ini seharusnya milik Harjono, dialah yang pantas begini. Dia yang menyerangku pertama, sedangkan aku, hanya melindungi diri, kan? Ya, ini semua salahnya! Bukan salahku, ah…, seharusnya...” Aku mengusap-usap rambut, menampari kepalaku sendiri seperti orang gila. Maka selepas sholat maghrib, aku memutuskan untuk mengubah keadaan. Bersembunyi terlalu lama juga tak ada gunanya. Kerinduanku pada kampung tak bisa ditarik-ulur lagi, juga kerinduanku pada Ngadiyem. Malam itu aku berkemas mempersiapkan semuanya.
Sarjo, seperti yang kutahu adalah orang yang paling pintar melobi, termasuk caranya menyuruhku pulang. Aku tak terlalu yakin jika Ngadiyem benar-benar memintaku menemaninya ke Arab Saudi. Aku juga tak terlalu yakin jika Ngadiyem benar-benar mau jadi TKW. Bukankah jadi guru ngaji sudah cukup membahagiakannya, sambil menemani ibunya berjualan jajanan pasar. Namun semua terjawab sudah saat aku pulang, kabarnya Ngadiyem benar-benar sudah berangkat ke Arab Saudi.
Kepulanganku menggegerkan kampung, tak seberapa lama kabar tersiar ke seluruh penjuru kampung. Orang-orang berkerumun di rumahku melihat keadaanku. Sarjo berdiri di pojok tersenyum sumringah, ada Parman, Sandio, Kayun, dan Bandrio mencercaku dengan banyak pertanyaan. Ibu-ibu di luar berbisik-bisik, bibirnya seperti tak berhenti bergerak sambil sesekali menunjuk-nunjuk ke arahku.
“Lha ini apa, Bolengane[3] sudah balik,” kata Pamanku. Suaranya keras seperti toa masjid, semua orang melihat ke arahku.
“Maafkan saya, Pakdhe[4]. Saya...”
“Ya, ya, Harjono sudah cerita semuanya. Ndak perlu takut-takut. Lagian kenapa mesti kabur segala?” tandasnya memotong niatku untuk menjelaskan semua, aku jadi urung meneruskan.
“Harjono sudah cerita? Termasuk Ngadiyem?” tanyaku.
“Ngadiyem apanya?” katanya cetus setengah bertanya.
“Ah, ndak kenapa-kenapa, Pakdhe, jawabku. Aku pikir Harjono pasti tak menceritakan semuanya, masalah yang sebenarnya.
“Ngadiyem sudah ke luar negeri, kerja jadi TKW. Rencananya setelah dia pulang, dia mau dilamar Harjono,katanya dengan biasa saja. Ah, Pamanku memang tak tahu betul kalau keponakannya ini punya rasa dengan Ngadiyem.
“Malahan mereka sudah ditunangkan,” imbuh Sarjo di belakang. Dadaku remuk redam mendengar semua cerita mereka, tapi dengan keras kusembunyikan. Bagiku lebih baik mati dimakan penyakit, dari pada hidup menebar penyakit. Aku tak mau perasaanku pada Ngadiyem diketahui siapa pun.
***
Dua tahun lamanya aku menunggu kabar kepulangan Ngadiyem. Selama itu pula aku tak pernah melihat Harjono. Kuhabiskan sebagian besar waktuku untuk mengurus surau, mengajar ngaji anak-anak kampung, dan sesekali pergi ke pasar jadi buruh angkut.  Sampai tiba di suatu sore yang remang, terdengar kabar bahwa Ngadiyem mati di Arab Saudi. Kata orang Ngadiyem mengalami kecelakaan kerja, ada yang bilang mati diperkosa, ada yang mengatakan dibunuh majikan. Semua desas-desus menggelayut menyebar dengan cepat seperti kabut, tidak jelas.
Aku jelas tak percaya dengan semua kabar yang ada. Jika belum ada bukti dan sumber yang pasti, bagiku ini seperti gosip biasa. Orang-orang di sini memang tak pernah bisa menjaga lisan, namun tampaknya kini giliran telingaku yang harus benar-benar menyimak dengan baik. Pak Arjo datang ke surau dengan selembar surat lelayu atas nama Ngadiyem, umur 26 tahun, putri dari Ibu Atmo Kati. Pengumuman kematian dibacakan...
Pagi itu pelataran rumah Ngadiyem telah penuh dengan tetangga, tak beberapa lama sanak keluarganya dari perantauan datang satu rombongan. Seorang polisi tampak sedang berdiskusi dengan Paman Ngadiyem, dua polisi lainnya berdiri di pertigaan sambil mengatur jalan. Sebentar lagi akan ada mobil yang datang. Aku sendiri bersama Sarjo, Parman, dan Kayun mengatur kursi dan memasang tenda, orang-orang semakin banyak berdatangan.
“Itu yang kau tunggu sudah datang,” bisik Sarjo pelan. Telingaku nyeri.
Rasa-rasanya kedua tanganku jadi lemas, perutku mual, dan kakiku mendadak loyo saat orang-orang mengeluarkan peti kayu besar dari sebuah mobil. Ibu Ngadiyem menangis sesenggukan menyebut-nyebut nama anak sulungnya, adik-adik Ngadiyem  ikut menangis. Beberapa tetangga juga menangis sambil mencoba menenangkan sebisanya. Aku sendiri kebingungan masih tak percaya. Tepat di sampingku ada Harjono, wajahnya nyalang, tapi seperti bubur.
 
                                                                                             Yogyakarta, 11 September 2013




[1] ngombe: Minum
[2] macul: Pacul. Mencangkul. Bekerja di sawah.
[3]  Bolengane : Panggilan, julukan untuk sebaya.
[4] Pakdhe :  Paman

Nb : di karya ini saya masih menggunakan nama pena lama; Arief Erha Kiem
Ucapan terima kasih buat Andhy Kh, penulis cerpen "Lukisan Kematian" di Koran Kompas, yang sudah mau diajak rembugan tentang cerpen ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar