Cerpen : "Maksud Batu" karya Arief Utara



Cerpen ini masuk dalam 7 nominator Lomba Cipta Cerpen Remaja Tingkat Nasional yang diadakan FAM Publishing (Jawa Timur) 2015. Termaktub dalam buku antologi pemenang lomba CCRTN FAM Publishing 2016.

Gambar : images.nusantaranews.co
Sebagai batu yang baik, dia tampak bersahaja ditumbuhi lumut hijau di punggungnya. Tak ada gelagat jahat di balik tampilannya. Burung-burung kecil sesekali mendekat, mengasah paruh di atasnya, dan dia tak pernah marah atau merasa kesakitan. Aku kagum, dia benar-benar batu yang telah lama kubayangkan sebagai belahan jiwa. Kupikir pilihanku sudah tepat. Bukankah cinta tak melulu soal pandangan pertama? Sebab aku memandanginya sudah bertahun-tahun lamanya.

Aku batu kecil yang kesepian di pinggir taman. Banyak batu yang mencemoohku sebagai batu murahan, tak pantas memiliki kawan, bahkan kata mereka, aku tak pantas memiliki kekasih. Seperti sifat kekal batu, aku pun keras kepala, tak kudengarkan kata-kata mereka yang bagiku hanya omongan tak berguna. Lebih baik memandangi batu cintaku, pangeranku, pujaan hatiku.
Dia lain daripada yang lain, dia spesial. Bila hujan tiba, dia seperti karang kekar di riuh ombak kehidupan. Bila terik datang, dia ibarat tameng yang meneduhkan, menenteramkan onak keresahan. Bagiku, dia sempurna sebagai pesona yang memabukkanku. Ya, dia sempurna, Sem. Pur. Na...
Dia (batu cintaku itu) tak seperti batu-batu yang pernah kukenal; liar, kejam, pemberontak, egois, preman dan apa dan apa dan sebagainya dan segala yang gila. Aku sering geram, terlebih jika ada saja seonggok batu mendekatiku dengan penuh gaya.
“Hai Cantik, aku tahu kenapa kamu cemberut terus,” seonggok batu urakan mencoba menggodaku. Dia batu yang tinggal di bawah bangku taman, penguping gombalan pasangan muda, tak tahu etika.
“O, ya? Kenapa?” tanyaku sengaja penasaran.
“Karena cemberut kamu itu posisi tercantik yang pernah kutemui di dunia ini.”
“Haha? O, ya? Menyingkir kau!!!” aku makin muak.
“Hahaha, cemberut lagi dong, Cantik!”
“Sial!!!”
Aku marah, gerah pada batu yang gemar menggombal tidak jelas. Sebab mereka hanya mempermainkanku, menyakitiku, menganggapku seperti sesuatu tak bernilai. Mereka, batu-batu sialan itu, hanya menyukai kecantikanku tanpa peduli jika aku juga batu yang butuh disayangi sepenuh hati, dimengerti, dan dihargai.
Suatu hari, di tengah terik yang kian menanak punggungku, beberapa batu dengan entah atas sebab apa melabrakku, menuduhku telah menggoda kekasih mereka. Aku tak terima.
“Apa buktinya? Hah!!!” aku membentak batu yang tak seberapa besar ukurannya itu dengan penuh emosi.
“Aku dengar sendiri, kau ini penggoda!” katanya tak kalah emosi.
“Kau penggoda. Makanya kau dikucilkan! Ngerti!” imbuh yang lain dengan suara keras. Mereka terus mencercaku dengan ragam bentakan.
“Hei perawan tembikar! Lekas menyingkirlah dari sini atau kuretakkan kau jadi kerikil!” ancamnya semakin menjadi.
“Sebaiknya kalian ajari mereka itu sopan santun, oke!” jawabku dengan emosi yang tak kalah luap. Jelaslah, aku tak sudi menjadi objek yang selalu disalahkan karena perbuatan yang tak pernah kulakukan. Mereka itu, sungguh mengganggu kedamaian hidupku.
Belakangan aku tahu, sebenarnya mereka cuma iri dengan kecantikanku. Itu sudah pasti, aku muda, aku lincah, dan aku eksotik sebagai batu dengan kulit hitam langsat. Sedangkan mereka? Cantik? Tidak sama sekali. Mereka batu dengan kulit retak, lubang di sana-sini, ditambah mereka batu penyuka keributan.   
Hidupku sebenarnya baik-baik saja sebelum seseorang lelaki tua meletakkanku dengan sengaja di samping tanaman markisa. Padahal kupikir tempat ini lebih baik dari tempatku yang dulu, yang panas di pinggir jalan, yang dekat dengan selokan. Nyatanya, ini tempat paling buruk yang pernah kutempati seumur hidupku. Beragam masalah muncul silih berganti, tanpa sebab yang jelas. Aku frustasi.
Aku berdoa kepada Tuhan, semoga siang nanti paling tidak ada seseorang yang menendangku dari tempat ini. Seorang anak kecil sepulang sekolah atau seorang pemuda patah hati, yang sekiranya memiliki tendangan kuat, yang bisa mendekatkanku pada sosok pangeranku, sosok cintaku.
Maka siang itu Tuhan sedia mengabulkan permintaanku. Seorang anak kecil dengan lemah lembut –tidak menendangku– malah memungutku dan menjatuhkanku di sebuah tempat yang cukup dekat dengan pujaan hatiku. Ah, aku tahu, Tuhan memang baik.
Di sekelilingku banyak ditumbuhi pohon besar yang rindang, rumput-rumput yang riang, dan tanah yang harum. Di sini aku merasa lebih leluasa memandanginya. Ini tempat terbaik, dan bukankah sebaiknya aku memanfaatkan kesempatan ini untuk mendekatinya? Ya dia, batu hitam yang kerap membuatku terjaga di malam-malam yang resah.
***
Aku merasa kebingungan, dalam jarak yang sedekat ini, jantungku bergolak, berdetak tak keruan. Aku harus bisa tenang, perasaan aneh ini harus bisa kukendalikan agar aku tak melakukan hal konyol saat awal perjumpaan.
Maka sore itu aku memberanikan diri untuk memulai sebuah percakapan yang tiba-tiba. Kutarik nafas kecilku lalu kuhembuskan pelan-pelan, beberapa daun rumput bergoyang.
“Hmm... sebuah batu tiap sore begini, jadi cuma berdiam diri?” aku mulai menyapanya.
Dia terhenyak dari lamunannya. Dia telah lama berdiam, memandangi hamparan ladang gandum di bawah bukit. Dia menatapku dengan mata yang sopan. “Diam dan berkhayal tak akan membuatmu menemukan banyak teman,” imbuhku lagi, kali ini dengan penuh kehati-hatian, dan agaknya aku berhasil membuatnya tersenyum.
“Ya, beginilah Nona, aku suka dengan alam, kehijauannya membuatku merasa tenang,” katanya dengan rona yang memesona.
“Aku pun sama, menyukai kedamaian,” kilahku sedikit mengada-ada. Aku hanya tak ingin kehilangan peluang.
“Kita punya hobi yang sama?” Dia bertanya penuh penasaran.
“Ya...” jawabku dengan wajah berbunga, membuat percakapan sore itu semakin merekah.
Sebagai tahapan awal dari sebuah perkenalan, kami pun memutuskan untuk bersahabat. Sebuah fase yang sebenarnya tak kuharapkan akan bertahan lama.
Bersahabat dengannya membuatku memiliki kebiasaan baru; bercanda, tertawa, bercerita tentang apa saja. Hari-hariku yang pemurung dan pemarah agaknya tak lagi membuncah. Tiba juga hari-hari yang kudambakan sejak lama, jauh dari mereka batu-batu perusak kedamaian.
Sebenarnya, aku ingin segera mengakhiri persahabatan ini, lalu memulai hubungan yang lebih rekat. Tentu sebagai sepasang batu yang berkasih sayang, sebagai kekasih yang telah lama aku idam-idamkan.
Namun sekian lama menjalani persahabatan, sekian banyak sinyal-sinyal kemesraan yang kutunjukkan, dia tak kunjung paham. Dia terlalu baik, dan kini aku berpikir dia juga terlalu bodoh. Entahlah, aku hanya bisa memendamnya dalam keriuhan naluriku sebagai batu yang kukuh;  ingin tetapi tak ingin.
Hingga pada sebuah kesempatan, saat cahaya senja hampir lelap di balik perbukitan, aku tak sengaja mengatakan hal yang tak sepatutnya kuutarakan.
“Persahabatan ini malah membuatku sakit,” ucapku tiba-tiba, yang sekaligus membuatnya bertanya-tanya; angin apa yang membuat batu satu ini mendadak bersikap tak seperti biasanya?
“Maksudmu? Kau bosan bersahabat denganku?” tanyanya dengan wajah yang kuhafal betul bagaimana rautnya, begitu polos, justru kian membuatku kesal.
“Apa kau ini pura-pura tak tahu, Jack?”aku balik bertanya.
Seberapa sulitkah pertanyaan ini? Sekian lama persahabatan, tak pernah sekalipun tercipta kegamangan yang membuat kami kikuk terdiam. Dan kini, kami bahkan teramat kikuk berpandangan...
“Jazz...” ucapnya memecah kebisuan.
“Bukankah sebaiknya aku mengatakan apa yang seharusnya kukatakan...”
“Aku hanya akan menambah kesakitanmu di masa depan, Jazz...”
“Aku tulus, aku sungguh-sungguh, Jack?”
“Maafkan aku, tapi kelak aku akan pergi dan kita tak mungkin bersama lagi. Apa kau akan siap dengan semua itu?”
Mendengar ucapannya, ingin kuberdoa sekali lagi, supaya Tuhan sedia memanggil anak kecil itu kembali –anak kecil dengan seragam merah putih– lalu memungut tubuhku, menendangku, atau melemparkanku sejauh-jauhnya dari tempat ini.
Sebagaimana sifat diam batu, kini aku memilih bungkam. Ya, batu yang bungkam sebaiknya jangan pernah diusik, mungkin dia menyimpan dendam di tubuh dinginnya. Bara yang tak sempat menyala, ditiup-tiup sepi, dikecup-kecup sunyi, sendiri.
           
                                                                                         Yogyakarta, 08 Oktober 2015


 Nb : Di karya ini saya masih menggunakan nama pena lama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar