Cerpen: "Nha" karya Arief Utara

Dimuat di Lombok Post, Minggu, 5 Februari 2017
Masih menggunakan nama pena lama
Gbr: Lombok Post




Aku masih menyimpan namamu Nha. Dalam secangkir kopi yang kuseduh tiap malam. Aroma kenangan yang terus mengepul di sembarang udara. Dan semua itu; pertemuan yang khayal serta perpisahan yang terlalu tawar.
Mulanya, kita bertemu dalam ruang maya. Lalu bercengkerama dan menciptakan sebuah dunia. Kita tak kunjung sadar bahwa pada kenyataannya, kita larut dalam ingar-bingar fatamorgana. Dunia tak nyata, semu, dimensi bayang-bayang. Begitulah dunia maya bekerja.
    “Aku di Yogyakarta, dan kau?” aku bertanya lewat kotak chatting itu.
    “Purwakarta,” jawabmu sepuluh detik setelah itu.

Kau tahu, aku masih tekun mengingat gambarmu, Nha. Pada dinding-dinding kamar yang dingin. Kotak-kotak eternit yang tak pernah genap. Lintasan bulan yang imajiner. Seharusnya kau tahu itu, Nha. Malam menyajikan senyummu, perempuan rembulan yang mengharu-biru rindu-rindu. Kenapa kau muncul di mana-mana?
Adakah kau ingat, pertemuan kita yang tiba-tiba. Di antara kata-kata, kita saling berjabat; saling sapa. Udara saat itu terasa dingin, namun sekejap hangat, saat kita berjalan-jalan dalam kalimat-kalimat.
    “Tiga,” kukirim pesan angka untukmu.
    “Tujuh,” kau balas dengan senyum yang lugu.
Angka sepuluh. Kau pasti tahu, berapapun angka yang sampai padamu, kita setuju, sepuluh sebagai penanda waktu; bahwa kau ada dalam satu tuju, bersamaku. Meski kenyataannya, kita bahkan lupa ruang dan waktu.
    “Simpanlah angka sepuluh  itu sebagai kenang-kenangan,” bisikku.
    Kau mengangguk ragu, hanya inikah kenang-kenangan untukku? Batinmu.
Aku berharap kau tak seharusnya sekejam itu padaku, Nha. Sengajakah kau tebar hadirmu pada awan mendung yang kerap menaungiku; si lelaki kunang-kunang penjaga malam petang. Di atas sawah-sawah yang hijau di pertengahan musim. Dan aku terbang berkelap-kelip, tetapi matamu masih saja berbinar di antara semak ilalang. Aku masih bisa melihatmu, Nha. Bisakah kau enyah dariku? Barang sedetik saja.
Entah kenapa, lelaki kunang-kunang ini seperti tak mampu menerka; di mana sisi dunia yang tak terjamah namamu. Ke mana perhentian yang kekal tanpa sapa ramahmu. Bagaimana cara terbaik menyeberangi rahasiamu yang laut itu?
    “Kak, Purwakarta dan Yogyakarta bukanlah jarak yang jauh, tetapi kenapa langkahmu seperti terhenti pada kata-kata yang bisu?”
    “Maksudmu?” aku bertanya padamu.
    “Mereka adalah kata-kata yang tak tentu, tak tahu tuju, kerap ragu-ragu.”
    “Kata-kata yang hidup dalam imajinasi yang absurd selalu begitu, Nha,” jawabku.
    “Aku selalu bingung dengan ucapanmu.”
    “Sebab semua yang kuterangkan padamu adalah perumpamaan-perumpamaan, Nha.”
    “Dan begitukan yang dilakukan orang sepertimu?”
    “Selalu.”
    “Tak peduli siapa aku?”
    “Kata-kata yang benderang selalu menyilaukan mata, dan itu tidak baik buatmu.”
    “Tapi aku tak hidup dalam kegelapan, Kak. Aku yakin aku sudah terbiasa.”
    “Dengan kesilauan itu?”
    “Ya.”
    “Tentu saja aku tak setuju.”
    “Kok, begitu?”
    “Sebab aku masih ingin memandangi matamu.”
    Matamu. Ya, di kedalaman matamu, tersimpan cerita-cerita yang rahasia itu. Yang tak terjamah olehku. Simpanlah rahasia itu sebagai barang berharga yang akan membawamu menuju jalan-jalan yang kau sukai. Sebab aku tak pantas tahu potret-potret yang terekam dalam biduk matamu. Satu pertanyaan yang sering muncul dalam benakku, adakah satu di dalamnya tersimpan; aku?
    Kunang-kunang ilalang terus terbang mengitari malam, menyelinap dalam dingin malam, menembus celah-celah kehampaan, melaju melawan gelap gulita. Kunang-kunang tiba di atas dedaun ilalang, berjalan kecil menuju pucuk daun doa, tersentak oleh dingin embun nestapa, lalu basah dalam desir-desir lagu masa silam.
    “Lama sekali aku menunggu cerita pendekmu, sampai aku hampir lupa,” tagihmu sekali waktu.
    “Maafkan aku, Nha. Aku tak pintar menangkap suasana, sebab lagi-lagi, membuat cerita pendek adalah mencipta suatu dunia. Aku kembali membawa dirimu ke dalam dunia tak nyata, dunia rekaan, fiksi namanya. Lagi-lagi sesuatu yang tak nyata, Nha.”
    “Ah, kau juga selalu tak nyata, Kak,” tukasmu padaku.
    “Terkadang kenyataan adalah ketidaknyataan itu sendiri, Nha.” Aku berkilah.
    “Kau mulai membuatku bingung lagi, Kak.”
    “Suatu saat kau akan mengerti.”
    “Apa sebaiknya aku tak usah mengerti?”
    “Pengertian memang tak perlu dipaksakan.”
    “Dan biarkan dia tumbuh dengan alami?”
    “Biarkan dia tumbuh bersemi di dalam hati.”

Ah, Nha, kau tahu, diam-diam aku ingin melarung namamu. Dalam keheningan malam tak berujung. Dalam kesunyian yang memekakkan telingaku. Dalam detak waktu yang terus menghajarku. Aku ingin namamu hanyut dalam ombak kebebasan, lepas tenggelam dalam bening laut. 
    Lihatlah, kunang-kunang ilalang terbang di rembang petang. Menembus batas-batas sawah pematang. Mencari persinggahan-persinggahan yang nyaman. Berjalan di antara gerigi dedaun kecil. Tidur sebelum purnama membalik hari, saat malam gelap tak tangguh lagi.
                                                                       -----
                                                                                                                                       Yogyakarta, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar