Masih menggunakan nama pena lama
Sumber : Koran Banjarmasin Post |
“Waduh, mau ke mana
Pak?” sapa seorang tetangganya terheran-heran.
“Ke sekolah anak saya, Pak. Pagi ini pengumuman kelulusan ujian nasional si
Rudi.” Pria berumur 52 tahun itu menebar senyum, sembari terus menuntun sepeda
jengkinya yang butut ke jalanan aspal depan rumah.
Memang tak seperti biasanya, pagi itu dia memakai setelan kemeja putih, celana
kain, dan bersepatu. Satu paket setelan pakaian yang hanya dipakainya di
acara-acara khusus. Satu paket setelan itu, satu-satunya yang ada di lemari
yang memang spesial, sengaja dirawat dan disimpannya dengan hanger
khusus. Setelan itu hanya akan dipakainya setahun dua-tiga kali saja, yakni
lebaran idulfitri, iduladha, dan acara kenaikan sekolah anak. Selain hari-hari
itu, dia akan memilih mengenakan kaos oblong sumbangan partai-partai saat
pemilu, baju kuning tipis bertuliskan Petugas Kebersihan Kecamatan, atau
kaus-kaus tipis yang sudah terlalu kendor dan pudar bagian kerahnya
karena sering dikucek dan dijemur.
Namun
satu hal yang tak pernah dikenakannya di saat spesial seperti itu adalah;
sepatu. Ya, sepasang sepatu kulit berwarna hitam yang ditemukannya di pinggir
tong sampah. Sepatu yang barangkali hanya dipakai orang-orang kantoran itu.
Sepatu
itu tergeletak begitu saja di depan tempat sampah. Posisinya sebenarnya tampak
meragukan, antara sengaja dibuang atau memang sedang ditinggal oleh pemiliknya,
atau mungkin saja terlupa dari pemiliknya. Namun apabila sengaja dibuang,
kenapa tak langsung dimasukkan ke tong sampah?
Seumur
hidup, tak pernah dia memiliki sepatu sebagus itu. Maka dia ingin memastikan
jika sepatu itu benar-benar dibuang oleh pemiliknya. Dia menunggui sepatu itu,
bermaksud memberi sedikit waktu buat meyakinkan bahwa tak ada seorang pun yang
kembali mengambilnya. Tepat di seberang jalan, sejurus dengan posisi sepatu
itu, Marno duduk di trotoar, mengamati orang-orang yang berlalu-lalang. Dalam
batin kecilnya, dia ingin memiliki sepatu itu secara halal, tak mau dianggap
sebagai pencuri. Dan satu-satunya cara yang paling benar menurutnya ya seperti
itu; menungguinya sampai magrib tiba, sampai tak ada seorang pun yang sedia
memungutnya.
Namun tak
seberapa lama dari pengamatannya, seorang bocah laki-laki berumur belasan
tahun, tak tahu siapa, bukan tetangganya, mendekati sepatu itu. Pelan-pelan
bocah itu mendekat, dengan gerak-gerik yang mencurigakan, seakan khawatir ada
yang mengawasinya. Pandangannya bocah itu sibuk menoleh ke kanan dan kiri. Lalu
tangannya mulai menjamah sepatu itu. Marno tergerak, berdiri sigap.
“Hei, itu
bukan sepatumu, kan?!” teriak Marno dari seberang jalan. Bocah itu terperanjat,
sepasang sepatu itu terjatuh dari tangannya.
Marno
berjalan ke arahnya, matanya yang tajam membuat bocah itu berucap dengan nada
bergetar,“ ini… cuma nemu, Pak…”
“Jadi
bukan sepatumu kan?” cercanya lagi, membuat bocah itu tambah ketakutan.
Bocah itu
menggeleng kepala,“ini sepatu Bapak?” tanya balik bocah itu memberanikan diri.
“Lekas
kembalikan ke tempatnya!”
Si bocah
lalu merapikan sepatu itu seperti posisi semula, kemudian pergi dengan perasaan
serba salah. Marno masih dengan tatapan tajam, memelototinya. Bocah itu lekas
pergi, menjauh dari penglihatannya. Langkah bocah itu semakin cepat, dan
menghilang di ujung belokan jalan.
***
“Sepatu
baru, Pak?” tanya Rudi anaknya.
“Iya, dong.
Keren kan?”
“Beli
sepatu bisa, gitu kok, masa beli tas gak bisa, Pak.” sindiran
anaknya itu membuat Marno mengarahkan pandangnya ke tas sekolah butut berwarna
putih suram itu.
“Ya,
nanti kalau ada uang, Le.” Jawab Marno sekenanya,” besok sepatu ini untuk acara
wisudamu, gimana?”
“Ndak
pantas, Pak. Norak!” jawab Rudi polos.
“Ah, kamu
ini…” gumam Marno, sembari asyik mencoba-coba sepatu itu, berjalan dari pintu
depan ke ruang tengah, bak model yang bergaya di panggung fashion show.
Rudi merengut melihat tingkah bapaknya.
***
Di bangku
para wali murid, Marno duduk sembari mengamati kaki-kaki wali murid lain yang
ternyata; tak ada seorangpun yang memakai sepatu. Hanya guru-guru dan karyawan
sekolah yang memakai sepatu. Kebanyakan dari mereka memakai sandal biasa, ada
pula yang memakai sepatu sandal, meskipun sandal, pastilah sandal mereka
berharga mahal, batinnya. Dia membayangkan sandal jepit merk Melky yang
biasanya menempel di kakinya; delapan ribu rupiah, sangat tidak matching
dengan setelan bajunya.
Tapi kali
ini, siang seakan terasa begitu sempurna, Marno manggut-manggut dengan nafas
lapang bersahaja, ditambah pengumuman bahwa Rudi lulus dengan nilai yang cukup
memuaskan. Rudi dapat rangking tiga di sekolahnya, Marno tersenyum bangga. Ah,
rasa-rasanya, baru kali dia bisa merasakan menjadi juragan yang berwibawa.
Meski ia tahu itu cuma perasaannya saja, meski ia tahu ia hanyalah “buruh
kebersihan” yang gajinya tak seberapa, Marno merasa bahagia.
Yogyakarta, 18 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar