Cerpen: "Bahagia" karya Arief Utara

Dimuat di Banjarmasin Post, 28 Agustus 2016
Masih menggunakan nama pena lama


Sumber : Koran Banjarmasin Post


  “Waduh, mau ke mana Pak?”  sapa seorang tetangganya terheran-heran.
            “Ke sekolah anak saya, Pak. Pagi ini pengumuman kelulusan ujian nasional si Rudi.” Pria berumur 52 tahun itu menebar senyum, sembari terus menuntun sepeda jengkinya yang butut ke jalanan aspal depan rumah.
          Memang tak seperti biasanya, pagi itu dia memakai setelan kemeja putih, celana kain, dan bersepatu. Satu paket setelan pakaian yang hanya dipakainya di acara-acara khusus. Satu paket setelan itu, satu-satunya yang ada di lemari yang memang spesial, sengaja dirawat dan disimpannya dengan hanger khusus. Setelan itu hanya akan dipakainya setahun dua-tiga kali saja, yakni lebaran idulfitri, iduladha, dan acara kenaikan sekolah anak. Selain hari-hari itu, dia akan memilih mengenakan kaos oblong sumbangan partai-partai saat pemilu, baju kuning tipis bertuliskan Petugas Kebersihan Kecamatan, atau kaus-kaus tipis yang sudah terlalu kendor dan pudar bagian kerahnya karena  sering dikucek dan dijemur.
 Namun satu hal yang tak pernah dikenakannya di saat spesial seperti itu adalah; sepatu. Ya, sepasang sepatu kulit berwarna hitam yang ditemukannya di pinggir tong sampah. Sepatu yang barangkali hanya dipakai orang-orang kantoran itu.

Sepatu itu tergeletak begitu saja di depan tempat sampah. Posisinya sebenarnya tampak meragukan, antara sengaja dibuang atau memang sedang ditinggal oleh pemiliknya, atau mungkin saja terlupa dari pemiliknya. Namun apabila sengaja dibuang, kenapa tak langsung dimasukkan ke tong sampah?
Seumur hidup, tak pernah dia memiliki sepatu sebagus itu. Maka dia ingin memastikan jika sepatu itu benar-benar dibuang oleh pemiliknya. Dia menunggui sepatu itu, bermaksud memberi sedikit waktu buat meyakinkan bahwa tak ada seorang pun yang kembali mengambilnya. Tepat di seberang jalan, sejurus dengan posisi sepatu itu, Marno duduk di trotoar, mengamati orang-orang yang berlalu-lalang. Dalam batin kecilnya, dia ingin memiliki sepatu itu secara halal, tak mau dianggap sebagai pencuri. Dan satu-satunya cara yang paling benar menurutnya ya seperti itu; menungguinya sampai magrib tiba, sampai tak ada seorang pun yang sedia memungutnya.
Namun tak seberapa lama dari pengamatannya, seorang bocah laki-laki berumur belasan tahun, tak tahu siapa, bukan tetangganya, mendekati sepatu itu. Pelan-pelan bocah itu mendekat, dengan gerak-gerik yang mencurigakan, seakan khawatir ada yang mengawasinya. Pandangannya bocah itu sibuk menoleh ke kanan dan kiri. Lalu tangannya mulai menjamah sepatu itu. Marno tergerak, berdiri sigap.
“Hei, itu bukan sepatumu, kan?!” teriak Marno dari seberang jalan. Bocah itu terperanjat, sepasang sepatu itu terjatuh dari tangannya.
Marno berjalan ke arahnya, matanya yang tajam membuat bocah itu berucap dengan nada bergetar,“ ini… cuma nemu, Pak…”
“Jadi bukan sepatumu kan?” cercanya lagi, membuat bocah itu tambah ketakutan.
Bocah itu menggeleng kepala,“ini sepatu Bapak?” tanya balik bocah itu memberanikan diri.
“Lekas kembalikan ke tempatnya!” 
Si bocah lalu merapikan sepatu itu seperti posisi semula, kemudian pergi dengan perasaan serba salah. Marno masih dengan tatapan tajam, memelototinya. Bocah itu lekas pergi, menjauh dari penglihatannya. Langkah bocah itu semakin cepat, dan menghilang di ujung belokan jalan.
***
“Sepatu baru, Pak?” tanya Rudi anaknya.
“Iya, dong. Keren kan?”
“Beli sepatu bisa, gitu kok, masa beli tas gak bisa, Pak.” sindiran anaknya itu membuat Marno mengarahkan pandangnya ke tas sekolah butut berwarna putih suram itu.
“Ya, nanti kalau ada uang, Le.” Jawab Marno sekenanya,” besok sepatu ini untuk acara wisudamu, gimana?”
Ndak pantas, Pak. Norak!” jawab Rudi polos.
“Ah, kamu ini…” gumam Marno, sembari asyik mencoba-coba sepatu itu, berjalan dari pintu depan ke ruang tengah, bak model yang bergaya di panggung fashion show. Rudi merengut melihat tingkah bapaknya.
***
Di bangku para wali murid, Marno duduk sembari mengamati kaki-kaki wali murid lain yang ternyata; tak ada seorangpun yang memakai sepatu. Hanya guru-guru dan karyawan sekolah yang memakai sepatu. Kebanyakan dari mereka memakai sandal biasa, ada pula yang memakai sepatu sandal, meskipun sandal, pastilah sandal mereka berharga mahal, batinnya. Dia membayangkan sandal jepit merk Melky yang biasanya menempel di kakinya; delapan ribu rupiah, sangat tidak matching dengan setelan bajunya.
Tapi kali ini, siang seakan terasa begitu sempurna, Marno manggut-manggut dengan nafas lapang bersahaja, ditambah pengumuman bahwa Rudi lulus dengan nilai yang cukup memuaskan. Rudi dapat rangking tiga di sekolahnya, Marno tersenyum bangga. Ah, rasa-rasanya, baru kali dia bisa merasakan menjadi juragan yang berwibawa. Meski ia tahu itu cuma perasaannya saja, meski ia tahu ia hanyalah “buruh kebersihan” yang gajinya tak seberapa, Marno merasa bahagia.
Yogyakarta, 18 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar