Puisi: "Rumah Hujan" karya Arief Utara



Gambar: www.kompas.com
 /1/

Rumah itu dibangun dari rok ibuku yang
Berkilatan memantik matamata berahi 
Mengekalkan sepi-sepinya sendiri

Cerpen: "Nha" karya Arief Utara

Dimuat di Lombok Post, Minggu, 5 Februari 2017
Masih menggunakan nama pena lama
Gbr: Lombok Post




Aku masih menyimpan namamu Nha. Dalam secangkir kopi yang kuseduh tiap malam. Aroma kenangan yang terus mengepul di sembarang udara. Dan semua itu; pertemuan yang khayal serta perpisahan yang terlalu tawar.
Mulanya, kita bertemu dalam ruang maya. Lalu bercengkerama dan menciptakan sebuah dunia. Kita tak kunjung sadar bahwa pada kenyataannya, kita larut dalam ingar-bingar fatamorgana. Dunia tak nyata, semu, dimensi bayang-bayang. Begitulah dunia maya bekerja.
    “Aku di Yogyakarta, dan kau?” aku bertanya lewat kotak chatting itu.
    “Purwakarta,” jawabmu sepuluh detik setelah itu.

Puisi: "Benih" karya Arief Utara



Images: cdn.eizil.com

Dan yang demikian itu mereka bersitumbuh
Saling merisik dengan kecupankecupan kecil
Mendongakkan keluguan

Terkadang mereka bertanyatanya
Kenapa  alam sudi mewakafkan tubuhnya?
Sementara bengis sepatu seringkali menikam
Mengentakkan derapderap keangkuhan, memuihkan lenganlengan

Benih kecil dicipta dari gigil malam
Diturunkan Tuhan sebagaimana adam-hawa
Ditakdirkan setegap tudung kehidupan

Cerpen: "Bahagia" karya Arief Utara

Dimuat di Banjarmasin Post, 28 Agustus 2016
Masih menggunakan nama pena lama


Sumber : Koran Banjarmasin Post


  “Waduh, mau ke mana Pak?”  sapa seorang tetangganya terheran-heran.
            “Ke sekolah anak saya, Pak. Pagi ini pengumuman kelulusan ujian nasional si Rudi.” Pria berumur 52 tahun itu menebar senyum, sembari terus menuntun sepeda jengkinya yang butut ke jalanan aspal depan rumah.
          Memang tak seperti biasanya, pagi itu dia memakai setelan kemeja putih, celana kain, dan bersepatu. Satu paket setelan pakaian yang hanya dipakainya di acara-acara khusus. Satu paket setelan itu, satu-satunya yang ada di lemari yang memang spesial, sengaja dirawat dan disimpannya dengan hanger khusus. Setelan itu hanya akan dipakainya setahun dua-tiga kali saja, yakni lebaran idulfitri, iduladha, dan acara kenaikan sekolah anak. Selain hari-hari itu, dia akan memilih mengenakan kaos oblong sumbangan partai-partai saat pemilu, baju kuning tipis bertuliskan Petugas Kebersihan Kecamatan, atau kaus-kaus tipis yang sudah terlalu kendor dan pudar bagian kerahnya karena  sering dikucek dan dijemur.
 Namun satu hal yang tak pernah dikenakannya di saat spesial seperti itu adalah; sepatu. Ya, sepasang sepatu kulit berwarna hitam yang ditemukannya di pinggir tong sampah. Sepatu yang barangkali hanya dipakai orang-orang kantoran itu.

Cerpen : "Maksud Batu" karya Arief Utara



Cerpen ini masuk dalam 7 nominator Lomba Cipta Cerpen Remaja Tingkat Nasional yang diadakan FAM Publishing (Jawa Timur) 2015. Termaktub dalam buku antologi pemenang lomba CCRTN FAM Publishing 2016.

Gambar : images.nusantaranews.co
Sebagai batu yang baik, dia tampak bersahaja ditumbuhi lumut hijau di punggungnya. Tak ada gelagat jahat di balik tampilannya. Burung-burung kecil sesekali mendekat, mengasah paruh di atasnya, dan dia tak pernah marah atau merasa kesakitan. Aku kagum, dia benar-benar batu yang telah lama kubayangkan sebagai belahan jiwa. Kupikir pilihanku sudah tepat. Bukankah cinta tak melulu soal pandangan pertama? Sebab aku memandanginya sudah bertahun-tahun lamanya.

Cerpen : "Pulang" karya Arief Utara



Dimuat dalam Antologi Cerpen "Tuan Bahaya" Penerbit FAM, Dafi Khadafi, dkk.

Cerpen ini masuk 10 besar nominator, termaktub bersama 40 karya peserta lomba yang dibukukan di Sayembara Cipta Cerpen Tingkat Nasional yang diadakan FAM Publishing September, 2013.
Katakan pada Ngadiyem, “Pagi ini jangan buatkan aku bubur.”
Kalau diingat-ingat pertemananku dengan Harjono jadi renggang gara-gara bubur. Malam itu entah kenapa, Harjono tiba-tiba nyalang, menghempaskan parangnya hampir mengenai kepalaku. Aku gelagapan, terjatuh di kolong meja, seketika kuambil garpu dan kutusukkan begitu saja entah ke mana. Namun sekejap pengap, dada Harjono membuncak tak karuan. Darah merembes bercampur tanah mengalir, menelusup celah-celah tembok bambu. Aku merinding, darah dan  kesakitan itu, membuatku minggat. Sejauh-jauhnya minggat.